Kucing di Tengah Burung Dara

Judul: Kucing di Tengah Burung Dara
Judul Asli: Cat Among The Pigeons
Penulis: Agatha Christie
Penerjemah: Ny. Suwarni A.S
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Ketujuh, Maret 2016
Tebal: 348 hlm
Bintang: 4/5


“Dalam hubungannya dengan permata, manusia tak bisa diduga sebelumnya. Benda-benda seperti ini selalu dibuntuti oleh serangkaian tindakan kekerasan. Kematian-kematian, pertumpahan-pertumpahan darah, pembunuhan.” (h. 38)
Revolusi yang siap meletus di Ramat, Timur Tengah, membuat Pangeran Ali Yusuf bersama Bob Rawlinson mempertimbangkan usaha melarikan diri. Namun sebelumnya, Pangeran Ali menitipkan permata-permatanya kepada Bob untuk diselundupkan ke luar negeri. Bob yang kebingungan akhirnya menyelipkan permata tersebut dalam barang bawaan kakaknya yang akan kembali ke Inggris.
 
Ternyata benar, bahwa permata membuat beberapa pihak tergiur dan mengincarnya, bahkan tanpa ragu menjadikan nyawa tak lagi berharga, pembunuhan pun terjadi. Rencana melarikan diri Pangeran Ali dan Bob, berujung pada kematian karena kecelakaan pesawat terbang. Hingga permata yang sebelumnya tersimpan tak lagi memiliki tuan. Hukum siapa yang mendapatkan, berarti dialah pemiliknya, menjadi berlaku.
 
Namun, permata tersebut tidak semudah itu didapat karena Bob telah menyelipkan permata di tempat yang tidak diduga, dan menggiring pengincarnya harus menyusup ke dalam sekolah Meadowbank. Selain itu, Putri Shaista yang dirumorkan sebagai calon pengantin Pangeran Ali diterima sekolah di Meadowbank, maka semakin lengkaplah alasan agen pengincar permata untuk beroperasi menemukan harta senilai 3,5 juta dolar tersebut.
“Matinya seorang guru olah raga di bangsal olah raga. Kedengarannya seperti cerita kriminal dalam olah raga, ya? Apakah katamu tadi dia ditembak?” (h. 133)
Pembunuhan pertama menimpa seorang guru olahraga baru, Miss Springer. Namun, para penyidik masih belum mengetahui keterkaitan permata dalam kasus ini, hingga motif menjadi tanda tanya besar. “Yang sulit adalah motifnya. … kecuali kalau di sini sedang terjadi sesuatu yang sama sekali tidak kita ketahui. Tapi kelihatannya seperti tak ada motif." (h. 156) Pembunuhan kedua, ketiga menyusul, hingga seorang gadis cerdas menemukan keganjilan dan  mencurigai sesuatu dalam benda miliknya.
 
Melihat nyawanya pun menjadi incaran, Julia Upjohn, segera mengambil tindakan dengan mendatangi sang detektif kawakan, Hercule Poirot. “Agaknya peristiwa ini membuatku tak bisa tinggal diam di kursi saja, meskipun itu yang kuinginkan. Harus ada aturan dan metodenya, tapi dalam kisahmu tadi tak ada aturan dan metode. Itu disebabkan karena banyaknya benang. Tapi benang-benang itu semua menyatu dan bertemu di satu tempat, Meadowbank.” (Poirot – h. 274) Maka, meluncurlah Poirot ke Meadowbank demi mengungkap misteri di balik ketiga pembunuhan di Paviliun Olah Raga.
 
Awalnya saya kebingungan dan agak pesimis karena disuguhi banyaknya tokoh, terutama pada guru, apalagi saya termasuk pembaca yang sulit mengingat nama. Tapi, lama kelamaan karena mengikuti gaya deskripsi dan alur cerita Agatha Christie yang rapi membuat saya mudah membayangkan para tokohnya, dan mulai bisa menempatkan ingatan setiap kali nama tokoh disebutkan. 
 
Salah satu bagian yang saya suka saat di bab 5 Agatha Christie menceritakan suasana sekolah melalui surat-surat yang dikirimkan para murid dan guru. Saya pikir akan menemukan kembali gaya surat-menyurat di bab selanjutnya, ternyata tidak ada lagi, hanya sekali-duakali saja. Tebak-tebakan sudah pasti tidak bisa dihindari setiap kali membaca novel detektif. Sambil menikmati cerita dan proses penyidikan polisi, maupun Hercule Poirot, sempat terpikir nama si pelaku, tapi kembali terkecoh dengan kelihaian Agatha Christie menggiring pembacanya. Hasilnya, tebakan akhir pun meleset tapi kejutannya menghilangkan rasa kecewa.
“Perasaan saya seolah-olah ada kucing di tengah-tengah burung dara begitulah. Kami ini burung daranya, kami semuanya, dan kucing itu ada di tengah-tengah kami. Tapi kami tidak bisa melihat kucing itu.” (h. 163)

Comments