Being Henry David

Penulis: Cal Armistead
Penerjemah: Dewi Sunarni
Penerbit: Spring
Terbit: Pertama, September 2016
Tebal: 256 hlm
Harga: Rp. 69.000 (Diskon di Toko Buku Online)
Bintang: 3.5 / 5


“Sekalipun luka di bagian sampingku berdenyut setiap kali kakiku menginjak tanah, lari rasanya menyenangkan. Melarikan diri. Seakan aku sedang meloloskan diri dari sesuatu yang menyeramkan dan berlari kepada sesuatu yang lebih baik.” (h.49)

Terbangun dalam kondisi tidak mengenali diri sendiri, bukan sesuatu yang menyenangkan. ‘Aku’ tidak tahu apa yang terjadi hingga dirinya terdampar di Stasiun Penn, New York. Hanya sebuah buku Walden karya Henry David Thoreau yang berada di sampingnya dan uang senilai 10 dolar di kantong. Ingatan tentang dirinya sama sekali tidak ada, hanya kekosongan yang memenuhi benaknya. Harapannya bertumpu pada ‘harta’ satu-satunya, sebuah buku yang bisa mengungkap siapa dirinya.
‘Aku’ memutuskan menggunakan nama ‘Henry’ setiap kali melakukan perkenalan. Pertemuannya dengan Jack dan Nessa, hampir menjerumuskannya pada Magpie, seorang Bandar narkoba. Keputusan melarikan diri dari Magpie, mengarahkan pelariannya ke Concord, Massachusset, tempat Danau Walden berada. Buku Henry David ini sangat penting baginya, sepanjang perjalanan ‘Henry’ membaca dan mencoba mencari petunjuk.

“Kesimpulanku---jika aku benar--- Thoreau lelah dengan peradaban dan bagaimana orang-orang menjadi budak terhadap rumah-rumah bodoh dan harta benda mereka sendiri. Guna membuktikan bahwa dia bisa menjadi lebih bahagia tanpa hal-hal itu, dia hidup sesederhana mungkin dan pergi untuk tinggal di hutan. Kedengarannya dia benar-benar bahagia dan damai ketika dia di hutan seperti itu, tinggal di tepi danau. Pasti menyenangkan.” (h.61)

‘Henry’ banyak berbicara dengan diri sendiri dan imajinasinya. Mengais-ngais isi kepala demi mendapatkan secercah ingatan, hingga imajinasi mempertemukannya dengan bayangan Henry David di bekas kabin tempat tinggal si penulis yang telah hancur. Henry David sendiri adalah tokoh yang sangat diagungkan di Concord, bahkan beberapa tempat mengabadikan namanya. “Karya paling terkenal Thoreau berjudul Walden, or Life in the Woods adalah sebuah buku berdasarkan kisah hidupnya selama 2 tahun di Walden Pond di tanah Ralph Waldo Emerson. Dia membangun sebuah rumah kecil untuk dia tinggali pada tahun 1845-1847. Setelah pengalaman tersebut, dia menghabiskan waktu selama 9 tahun untuk menulis buku tersebut.” (Wikipedia)
Sisi romansa hadir dengan pertemuan ‘Henry’ dengan Hailey saat menuju Danau Walden di belakang sekolah Hailey. Rasa yang melenakan, terkadang membuatnya tak ingin mengetahui masa lalunya. Menghadirkan kebimbangan, menghiraukan masa lalu dan keinginan memulai hidup baru. “Aku kembali ke Danau Walden keesokan pagi. Aku ditarik ke sana, seolah-olah mungkin inilah tempat aku bisa menemukan jawaban. Hal yang sulit, mengingat aku bahkan tidak yakin apa pertanyaannya.” (h. 101) Namun, ingatan tentang darah dan adiknya yang terluka membuatnya bertahan untuk mencari ingatan dan menyelamatkan adiknya.
“Bagaimana jika ingatanku tidak pernah kembali? Kurasa aku punya dua pilihan: Menciptakan hidup tanpa masa lalu, memulainya di sini dan sekarang. Atau pergi ke Departemen Polisi Concord dan menyerahkan diri. Mereka akan menghubungi media dan memasukkanku ke dalam berita, dan akhirnya seseorang akan melihatku dan mengenaliku. Aku akan dibawa pulang kepada orangtua yang tak kuingat, kepada hidup yang sepertinya kujauhi. Hanya jika mereka menginginkanku kembali.” (h. 151)

Kekalutan terus membayangi, hingga ingatan pun akhirnya hadir membawa kesedihan. Pelarian diri terus menjadi pilihan yang tidak dapat dihiraukan. Pikiran ‘Henry’ kesakitan mengingat penderitaan adiknya, rasa bersalah yang begitu besar, ternyata menjadi penyebab ingatannya tertutup. Kenyataan yang ternyata memang ingin dia hapus selamanya. Usaha yang menggiringnya pada pertemuan dan pemikiran tentang hidup yang mendalam.
“Semuanya menjadikan pilihan nomor satu sebagai yang terbaik: menciptakan hidupku sendiri, sesuai keinginanku, seperti yang Thoreau lakukan.” (h. 151)

Saya suka bagian menjelang akhir cerita, saat ‘Henry’ memutuskan mendaki Gunung Katahdin dalam pelariannya. Akhir dimana dia mulai mencerna kembali ingatan dan perjalanan yang sudah ditempuhnya sejauh ini. Buku ini mengandung filsafat meski ringan dengan keseharian remaja dan saya suka bagaimana penulis konsisten mempertahankan karakter tokohnya dengan baik.
“Aku berlari sejauh mungkin. Berlari dari padang rumput di Illinois ke New York dan ke Concord, Massachusetts. Melarikan diri dari orangtuaku dan dari Magpie. Pada dasarnya, aku mencoba melarikan diri dari apa yang telah kulakukan. Tapi perbuatan mengikutiku ke mana pun aku pergi, bahkan mengikutiku hingga ke puncak gunung ini.” (h. 270)

Comments