1Q84 Jilid 1

Judul: 1Q84 Jilid 1 | Penulis: Haruki Murakami | Penerjemah: Ribeka Ota | Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) | Terbit: Kedua, April 2016 | Tebal: vi + 516 hlm | Harga: Rp. 90.000 (Diskon 20% di Toko Buku Online) | Bintang: 4/5


“Ketajaman batin tidak pernah lahir dari lingkungan yang nyaman.” (Tengo – h.30)
Aomame merasa kehilangan momen ketika menyadari perubahan dengan seragam dan senjata Beretta Model 92 yang digunakan polisi. Ingatannya sama sekali tidak dapat menangkap peristiwa baku tembak di Danau Motosu yang menyebabkan perubahan tersebut, yang rasa-rasanya tidak mungkin dia lewatkan beritanya. Komponen dirinya pun seperti mengalami keanehan sejak mendengarkan Sinfonietta karya Janacek dalam sebuah taksi. Hari yang aneh!

"Jarum menembus kulit, menusuk titik tertentu di bagian bawah otak, dan menghentikan jantung sewajar memadamkan api lilin dengan sekali tiup. … Hanya Aomame yang mampu melakukannya, … karena ujung jarinya memiliki indera istimewa” (h. 61) Keahlian istimewa Aomame dan ingatan tentang nasib sahabat baiknya membuatnya menyetujui pekerjaan dari Wanita Tua. Pekerjaan membunuh pria-pria tak termaafkan yang dengan seenaknya melakukan kekerasan.
“dimana garis batas antara kegilaan dan sesuatu yang menyerupai kegilaan, Aomame tidak bisa melihatnya. Lagipula orang-orang yang dikirim ke dunia nun jauh oleh Aomame bersama wanita tua itu adalah para laki-laki yang, dipandang dari sudut mana pun, sama sekali tidak patut diberi belas kasihan.” (h.366)
Selain alur Aomame, penulis juga menyuguhkan alur Tengo, meski kaitan keduanya baru akan ditemukan menjelang akhir cerita jilid pertama. Tengo seorang penulis, mendapatkan tantangan dari Komatsu, untuk menulis ulang sebuah novel berjudul Kepompong Udara. Sebuah novel, dari naskah yang masuk di sayembara sastra, yang menarik bagi Tengo maupun Komatsu, si editor kawakan. Penulisan ulang ini menyalahi aturan tapi rasa penasaran terus menggempur diri Tengo.
“Yang kita lakukan sekadar mencoba memperbaiki karangan bercacat di sana sini yang ditulis oleh seorang siswa SMA agar menjadi karya yang lebih bermutu. Apa salahnya? Bukankah lebih dari cukup kalau karya hasil kerja sama kita bermutu tinggi dan dapat dinikmati banyak pembaca?” (Komatsu – h. 41)
Pertemuan Tengo dan Fuka-Eri, si penulis Kepompong Udara, semakin memperumit keadaan karena Fukada, nama aslinya, mengidap disleksia. “Fuka-Eri menderita disleksia dan tidak dapat membaca buku secara normal. Orang yang menderita disleksia pada dasarnya tidak dapat membaca dan menulis. Dapat dikatakan tidak ada masalah pda kecerdasannya, tapi butuh waktu lama untuk membaca.” Jika kondisi Fukada terungkap, maka penulisan ulang novel yang cemerlang tidak akan ada gunanya.

Namun, penerbitan Kepompong Udara harus terus dilakukan demi mendapatkan kepastian tentang keberadaan orangtua Fukada. Profesor, wali Fukada, mengungkap sebuah sejarah orangtua Fukada yang sampai saat ini tidak diketahui nasibnya. Novel Kepompong Udara dianggap sebagai salah satu jalan memancing media untuk selanjutnya, bisa menemukan keberadaan orangtua Fukada. Tujuan lebih besarnya lagi, adalah menyibak misteri komune Sakigake.
“Cerita yang menarik. Sangat sugestif. Tetapi sugesti apakah itu, sejujurnya saya tidak mengerti. Kambing buta bermakna apa, Orang Kecil itu apa, atau Kepompong Udara itu melambangkan apa.”
Kedatangan seorang gadis kecil di tempat penampungan Wanita Tua, menawarkan sebuah pekerjaan baru yang mengaitkannya dengan sejarah Sakigake. Jadi, secara perlahan tokoh Aomame dan Tengo digiring ke satu titik yang sama yaitu misteri komune Sakigake. “Apa yang sedang terjadi dalam komune, sama sekali tidak dapat diterka dari luar. Kalau Akebono yang militan berprinsip menutup diri, masih bisa dipahami. Tapi Sakigake hanya menjalankan pertanian organic dengan damai, … komune itu kelihatan bagaikan benteng.” (h.238)

Terlepas dari adegan-adegan vulgarnya, novel ini sangat menarik berbicara tentang banyak hal, sejarah, isu politik, kehidupan, misteri, kekerasan seksual, hukum, psikologis, sehingga membuat novel ini terkesan padat dan rumit. Settingnya mengambil tahun 1984 dan sepertinya terinspirasi oleh novel George Orwell, yang berjudul 1984. “Novel 1984, George Orwell menampilkan tokoh diktator yang disebut ‘Bung Besar’. Tentu saja alegori Stalinisme. Kemudian istilah ‘Bung Besar’ menjadi salah satu ikon social sejak terbitnya novel itu. Itu keberhasilan Orwell. Namun pada tahun 1984 yang nyata ini, Bung Besar sudah terlampau terkenal, terlampau mudah dilihat. Sebagai gantinya, mucul Orang Kecil.” (Profesor – h. 393)

Meski dipenuhi misteri dan kekelaman, ‘hubungan yang masih tertutup’ antara Aomame dan Tengo terasa menjadi pemanis dalam alur. Mengingat buku ini masih jilid pertama, sudah pasti isinya semacam ‘pengantar’ untuk menemukan plot besar dalam cerita. Komune Sakigake, Orangtua Fukada, Kelanjutan nasib Novel Kepompong Udara, Pelarian Fukada, Orang Kecil, bahkan apakah Aomame dan Tengo akan bertemu, semuanya masih menyimpan rasa penasaran yang besar.
“Profesor punya kekuatan besar dan kebijaksanaan dalam. Tapi Orang Kecil juga punya kebijaksanaan dalam dan kekuatan besar tidak kalah sama Profesor. Hati-hati di dalam hutam. Hal yang penting ada di dalam hutan dan di dalam hutan ada Orang Kecil. Untuk tidak dicederai Orang Kecil harus menemukan sesuatu yang tidak dimiliki Orang kecil.” (Fukada – h.500)

Comments